Karna libur yang menurut saya terlalu lama, otak saya jadi nganggur. Biasanya di sekolah banyak jahilin orang, saat libur tentu tidak bisa, hehe
Puntennn, notes ini hanya sekilas tentang acara-acara TV yang ada di rumah saya. Tulisan ini sangat tidak bermutu. Mau dibaca syukur, tidak juga gak masalah. :D
Acara-acara TV itu diantaranya sinetron, film2 berdurasi pendek sekitar 2 jam (panjang itu mah hehe), infotainment (gosip, cek&ricek, dsb), dan acara-acara kuis yang hadiahnya menggiurkan.
Tentu kalian setuju, bahwa sinetron di TV hampir semuanya berorientasi pada pemanjaan hasrat sex, lalu disisipi agama sebagai bumbu penyedap biar filmnya makin asik, juga aksi laga kekerasan yang bikin penonton dipompa adrenalinnya. Jika harus ada standar moral, tebak standar moral apakah yang dipake di film-film itu? Ya, kebaikanlah yang akan menang. selalu, KEBAIKANLAH YANG AKAN MENANG !
Film bergenre apa pun standar moralnya pasti seperti itu. Pada akhirnya kebaikanlah yang menang, pada akhirnya cintalah yang menyatukan kita, pada akhirnya kita pasti senang-senang. Mudah sekali ditebaknya. Apa yang para penggiat film suguhkan, Cuma kebaikan semu dan mengajarkan cara hidup yang naif.
Bayangkan implikasinya di bidang politik, pesan-pesan yang nyampe pada penonton adalah KEBAIKANLAH YANG AKAN MENANG, secara tidak sadar asumsi itu terpatri di diri kita sebagai penonton. Lalu, mampukah kita kritis terhadap penguasa (pemenang pemilu) ??
Tak ada-lah kita mampu bersikap kritis setelah pemilu usai. Apa sebab ?? sebab pertunjukkan telah usai, pemilu telah usai dan pemenangnya adalah orang baik. Hidup warga negara pun baik-baik saja, tak ada yang salah dan keliru. Lalu kita jadi naif, menganggap dunia ini baik-baik saja, padahal tidak seperti yang kita kira, bahwa disekitar kita penuh ketimpangan. Kita tunggu beberapa tahun lagi, lalu tontonan akan asik lagi. Agama , kekerasan, obral wanita akan lagi mencuat sebagai penyedap adegan pemilihan umum.
Coba tebak lagi, makna apa atau ajaran moral tentang kehidupan apa yang disampaikan kebanyakan film di indonesia?? Ah, lagi-lagi bisa ditebak, hidup adalah tentang ; makan, minum, ngesex, bersenang-senang, lalu punya anak, cari duit yang banyak, kemudian mati. Begitulah, hidup jadi mudah ditebak, sangat deterministic, dangkal dan membodohkan. Kita dipaksa buat menyetujui satu makna saja tentang kehidupan. Kehidupan yang begitu dan sudah dipastikan akan begitu. Ya BEGITU, begitu-begitu saja.
Dan hidup naif sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari kita sebagai kaum penonton film2 indonesia. Perhatikan sinetron-sinetron di TV, realitas kelas masyarakat mana yang dipotret?? Kebanyakan realitas masyarakat kelas atas; yang memiliki hp, motor, mobil, rumah mewah. Lantas seperti apa posisi saudara2 kita yang berpredikat kaum miskin dalam perfilman kita?? Kaum miskin biasanya digambarkan sebagai orang yang beruntung mendapatkan cinta dari kaum (atau seseorang) kaya, atau digambarkan sebagai orang yang sabar, pemaaf, dan banyak berdoa sehingga tuhan memberikan rizki yang tiada terkira.
Potret masyarakat yang ditayangkan di TV adalah potret masyarakat kaum kaya yang konsumtif, (meskipun gak semua orang kaya begitu). Tapi itu gak aneh, darimana biaya bikin film?? Ya, dari iklan. Misalnya, iklan hp, motor, mobil, mesin cuci, dsb. Implikasinya di masyarakat kita yang kebanyakan berasal dari kelas menengah ke bawah, ikut juga jadi konsumtif. Maka tujuan hidup adalah mengkonsumsi. Mengkonsumsi apa pun yang diiklankan atau ditayangkan lewat film di TV. Pada fase ini, standar hidup masyarakat kelas atas diandaikan sebagai standar baku cara berkehidupan, buat masyarakat kelas mana pun.
Itulah, kini masyarakat kita jadi masyarakat naif, masyarakat yang mengingkari kondisi sehari-hari demi identitas yang dipertontonkan di TV. Film-film di TV jadi candu baru, menyuguhkan ideal-ideal semu tentang tujuan hidup, juga tentang hidup yang seharusnya.
Meskipun ada juga acara TV yang memposisikan kaum miskin sebagai pemeran utama. Namun dalam batas-batas konsepsi bahwa orang miskin adalah orang yang harus dikasihani dan orang yang berkecukupan adalah tokoh yang harus mengasihani. TOLAK UKURNYA MASIH SELALU UANG. Seperti dalam realityshow ”toloong”, orang miskin diposisikan sebagai kaum yang lemah yang layak bekerja dengan cara mengemis buat hidup. Suatu keganjilan dan keburukan jika tak sengaja ada orang yang (juga) miskin dan sombong tersorot kamera tidak mau mengasihani sesamanya. Makin ganjil lagi bila ada orang yang lebih miskin tampil sebagai pahlawan.
Mengenai kuis-kuis yang hadiahnya menggiurkan, telah mengajarkan pada penonton bahwa berkompetisi mendapatkan duit adalah jalan menuju sukses. Dan sukses adalah mendapatkan duit segede-gedenya, dan menjadi kaya sekaya-kayanya. Buat apa hadiah gede, buat apa duit gede yang didapat dari kuis?? Ya itu dia, buat mengkonsumsi, buat beli hp, motor, mobil, rumah atau fasilitas apa pun yang dipertontonkan di TV. Sangatlah sederhana; berkompetisi mendapatkan duit, membeli, lalu mengkonsumsi.
Mau film, mau kuis, mau sinetron, dan infotainment, acara-acara TV itu sah-sah aja nampang di TV kita. Namun mampukah kita menonton TV secara kritis?? saya merasa sangat bosan dengan acara-acara TV di indonesia sebab alurnya itu-itu juga. Sederhana memang, tapi kesederhanaan yang dangkal, dibalik kesederhanaannya tidak ada apa-apa, Nihil.
Jadinya, acara TV kita semacam pembodohan yang terstruktur dan kita dikondisikan untuk tidak beranjak dari kebodohan yang sengaja diciptakan ini. Jika tidak mau dikatakan berdiam diri terus di kebodohan, ayolah kita galakan bikin semacam tradisi kritik. Misalnya, tradisi kritik film, kritik sinetron, kritik kuis, kritik iklan, dan kritik infotainment. Kritik itukan apresiasi juga terhadap karya, namun apresiasi jangan saja diartikan memuji, lalu kritik dinilai menjelekkan atau menghina suatu karya.
Mau pake media apa kritiknya, tinggal pilih aja. Jaman sekarang banyak pilihan, gak perlu media yang sudah mapan. Media yang mapan untuk terus beroperasi saja bergantung pada iklan-iklan dan dana yang menampilkan acara-acara hedonis. Media itu kan fungsi utamanya sebagai alat promosi, diantaranya promosi ideologi. Cuma ada dua pilihan ideologi ; ideologi duit atau ideologi non duit. Haha
Budaya kritik ini patut kita kembangkan sebagai alat saring untuk memperoleh karya yang berkualitas. Jangan kita terlalu mempercayakan kegiatan saring menyaring ini pada KPI atau sejenisnya. Mereka juga manusia yang butuh duit, ya sederhananya mana mungkin mereka menolak duit gede dari media massa yang mereka awasi. Lagi pula mereka tunduk di bawah aturan, aturan itu kan dibikin oleh orang yang berkepentingan. Dalam hal ini penguasa, penguasa di sini bisa yang duduk di legislatif atau eksekutif. Kita tahu rata-rata penguasa di negeri kita adalah pengusaHa sekaligus politisi yang sering beriklan di media massa atau bahkan mereka pemilik media massanya.
Kalo kita ingin jadi penonton yang berkualitas, karya yang ditonton pun harus berkualitas. Lantas yang menentukan berkualitas atau tidaknya suatu karya yang ditonton bukan orang lain, tapi diri kita sendiri melalui kegiatan kritik mengkritik. Haha, selamat menonton dengan kritis ! sokk lahh.. :D